Langsung ke konten utama

**Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa?**

 Sebelum saya menuliskan refleksi ini, saya akan memulainya dengan alasan utama mengapa saya akhirnya memilih menjadi seorang guru. Jawabannya adalah ketidaktahuan. Setelah menyelesaikan pendidikan di tingkat SMA, saya tidak punya gambaran apa yang akan saya lakukan selanjutnya. Saya tidak punya cita-cita, tidak tahu bagaimana dunia kerja itu, dan merasa masih di bawah tanggung jawab orang tua. Saya juga tidak mengerti tentang dunia perkuliahan. Bagi saya, kuliah adalah lanjutan dari pendidikan dasar dan menengah yang harus dijalani, seperti kebanyakan orang. Saya **tidak tahu** bahwa kuliah adalah langkah awal untuk memutuskan “seseorang seperti apa” saya akan menjadi di masa depan. Saya rasa banyak anak lain yang mengalami hal serupa, karena ketidaktahuan ini mungkin disebabkan karena tidak ada yang memberi tahu. Orang tua saya tidak memberitahu, karena mereka sendiri tidak pernah berkuliah. Guru saya juga tidak memberi tahu, karena mungkin mereka merasa itu bukan tugas mereka; toh tugas guru adalah mengajar materi sesuai bidang keahlian. Selebihnya, itu adalah pekerjaan tambahan.


Saya baru tersadarkan sekarang bahwa seharusnya saya mencari tahu tentang pilihan terbaik yang harus saya ambil pada waktu itu. Namun, masalah utamanya adalah saya **tidak tahu** kalau saya **tidak tahu**, sehingga saya tidak bisa mencari tahu apa yang saya tidak ketahui.


Singkat cerita, saya akhirnya memutuskan untuk kuliah dengan pilihan yang terbatas. Keterbatasan ini disebabkan oleh dua hal: pertama, keterbatasan pengetahuan saya tentang jurusan kuliah, dan kedua, keterbatasan ekonomi untuk membiayai kuliah. Keterbatasan ini yang akhirnya membuat saya memilih kampus yang mudah dijangkau secara akses dan murah, karena prinsip saya saat itu adalah hanya ingin kuliah. Pilihan terbaik saat itu adalah keguruan, karena banyak kampus yang menyelenggarakan pendidikan keguruan dengan biaya pendidikan yang lebih terjangkau. 


Saya baru menonton video di TikTok yang mengatakan, *“Jangan pernah mengharapkan kualitas terbaik dari sesuatu yang murah.”* Saya memilih pendidikan fisika karena merasa sesuai dengan jurusan IPA waktu SMA, meskipun faktanya saya dulu tidak menyukai mata pelajaran fisika dan sedikit kesulitan dalam matematika. Namun, saat pengumuman kelulusan Ujian Nasional tahun 2011, guru fisika saya berjabat tangan dan mengungkapkan kekhawatirannya kalau saya tidak akan lulus. Namun, pada akhirnya saya lulus juga. Hal ini yang mendorong saya untuk memilih pendidikan fisika, sekadar ingin membuktikan bahwa saya bisa belajar fisika jika saya memiliki niat. Ternyata, itu tidak semudah yang saya bayangkan. Saya benar-benar kesulitan di semester awal karena kesulitan mempelajari fisika dan matematika.


Sampai pada akhirnya saya bertemu seorang dosen yang benar-benar membuat saya terkagum-kagum. Cara mengajarnya membuat fisika terasa mudah dan menyenangkan. Nama dosen itu adalah Bapak Zakarian Seba Ngara, seorang dosen "terbang" yang kami sebut, karena beliau berasal dari Kampus Undana Kupang dan diperbantukan di kampus kami untuk mengajar mata kuliah Fisika Matematika (Fismat). Saya sangat terpesona dengan cara beliau mengajar fisika dan matematika tanpa bergantung pada teks atau buku. Beliau menjelaskan semua konsep fisika dengan sangat baik dan dalam bahasa sederhana yang mudah dipahami. Saat itu, saya menjadikannya sebagai role model: *“Jika saya menjadi seorang guru, saya akan meniru cara beliau mengajar.”* 


Saat ujian mata kuliah Fismat, beliau benar-benar mengedepankan kejujuran dan sangat tidak toleran terhadap perilaku menyontek, yang sering menjadi kebiasaan mahasiswa. Saya sangat termotivasi untuk belajar dengan sungguh-sungguh, dan akhirnya mendapatkan nilai A untuk mata kuliah Fisika Matematika I—sebuah nilai yang jarang didapatkan banyak mahasiswa di mata kuliah tersebut. Dari pengalaman ini, saya menyadari bahwa saya yang dulu sangat tidak menyukai fisika, bisa belajar dengan sungguh-sungguh dan memperoleh nilai baik karena dipertemukan dengan guru yang bisa mengajarkan dengan baik. Ajaibnya, beliau berhasil membuat saya menyukai pelajaran yang dulu saya anggap sulit.


Sebagai guru, kita jangan pernah melabeli seorang anak dengan kata-kata seperti "anak ini tidak pandai matematika", "dia tidak berbakat dalam seni", atau "olahraga bukan kemampuannya". Mungkin saja anak tersebut tidak bisa karena belum menemukan guru yang tepat untuk memotivasi dan membimbingnya mempelajari hal yang dianggapnya sulit.


Setelah menyelesaikan kuliah pada tahun 2015, hal pertama yang saya pikirkan adalah bagaimana mendapatkan pekerjaan secepat mungkin. Melihat fenomena banyaknya lulusan sarjana pendidikan yang menganggur, saya merasa khawatir bahwa saya juga akan bernasib sama, terlebih lagi saya takut mengecewakan orang-orang yang sudah berkorban agar saya bisa kuliah dan akhirnya hanya menjadi pengangguran. Hal ini yang membuat saya tidak mempermasalahkan berapa penghasilan yang saya dapatkan—yang terpenting adalah saya bekerja.


Saya kemudian menjadi guru honorer di SMAN 2 Lamba Leda, Manggarai Timur, dengan gaji awal lima ratus ribu per bulan. Itu tidak menjadi masalah bagi saya, karena yang terpenting bagi saya adalah tidak menjadi pengangguran. Apalagi dengan semangat pengabdian yang sering disematkan pada profesi guru—bahwa menjadi guru adalah bentuk pengabdian. Namun, sekarang saya menyadari bahwa ini adalah pandangan yang keliru dalam melihat profesi guru. 


Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik di pendidikan anak usia dini, pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dengan kata lain, guru adalah pekerjaan profesional yang memerlukan keahlian, pengetahuan, dan keterampilan tertentu, yang telah diakui oleh masyarakat dan diatur oleh organisasi atau lembaga yang kompeten. Profesi ini tentu memiliki tanggung jawab etika dan standar kinerja yang tinggi. Oleh karena itu, guru harus dibayar sesuai dengan tugas keprofesiannya, karena merupakan pekerjaan dengan keahlian yang tidak dimiliki oleh sembarang orang.


Namun, kenyataannya, banyak faktor yang menyebabkan rendahnya penghargaan terhadap profesi guru dan rendahnya gaji yang mereka terima. Melimpahnya lulusan sarjana pendidikan menjadi salah satu penyebab mengapa guru dibayar murah. Tidak heran jika dulu, ketika saya kuliah, ada mata kuliah kewirausahaan yang seolah-olah ingin mengatakan, *“Jika kamu kuliah di jurusan keguruan, jangan berharap hanya menjadi guru. Banyak yang menganggur, cobalah berwirausaha.”* Walaupun hal ini sepertinya tidak salah, saya merasakan ada yang janggal. Kalau ingin berwirausaha, mengapa harus kuliah di keguruan? Fokuslah pada jurusan yang sesuai dengan bidang itu.


Ini adalah kritik saya terhadap sistem pendidikan kita yang menurut saya menjadi masalah terbesar yang belum terselesaikan hingga saat ini. Masalah pertama adalah fasilitas yang jauh tertinggal. Fasilitas yang saya maksud bukan hanya sekolah, tetapi juga fasilitas untuk melatih seseorang menjadi guru yang akhirnya akan mengajar di seluruh Indonesia. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, keguruan adalah salah satu pilihan jurusan perkuliahan yang murah dan mudah dijangkau, sehingga banyak orang bisa kuliah. Konsekuensi dari murah adalah kesulitan dalam meningkatkan kualitas. Saya tidak mengatakan bahwa kualitas kampus-kampus keguruan di Indonesia buruk, tetapi kenyataannya, banyak lulusan sarjana pendidikan yang belum siap untuk mengajar dan menjalankan tugas profesional sebagai guru, yakni mendidik, mengajar, membimbing, dan mengevaluasi.


Hal ini saya rasakan setelah menyelesaikan kuliah. Kemampuan yang saya peroleh selama kuliah hanya sebatas mengajar. Itu pun tidak cukup. Tugas seorang guru jauh lebih dari sekadar mengajar dan memberi soal. Guru harus bisa membimbing, mengarahkan, menilai, dan mengevaluasi dengan keahlian khusus. Saya pun menyadari, tugas guru yang sesungguhnya membutuhkan konsentrasi penuh dan sangat melelahkan.


Misalnya, sebelum mengajar, seorang guru harus membuat perencanaan pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik kelas. Dari mana guru tahu karakteristik kelas? Bisa melalui analisis pertemuan sebelumnya atau tes diagnostik yang membutuhkan waktu dan tenaga. Selain itu, guru juga harus menyusun strategi pembelajaran yang sesuai dengan materi dan peserta didik, menyiapkan media, Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD), serta merancang instrumen penilaian dan evaluasi. Semua ini membutuhkan banyak waktu dan energi. Dalam pengalaman saya mengajar IPA, untuk menyiapkan modul pembelajaran untuk satu pertemuan, saya membutuhkan waktu tiga hingga empat jam, tergantung pada karakteristik materi.


Namun, yang paling membebani adalah kenyataan bahwa meski semua itu sudah dilakukan dengan sebaik-baiknya, banyak guru yang masih harus menerima gaji rendah. Ini sangat mempengaruhi kinerja.


Tulisan ini akan berlanjut tetapi entah kapan !


Komentar

Postingan populer dari blog ini

EVERYBODY’S CHANGING (keane)

Everybody ’ s Changing .... Sebuah lagu yang dilantunkan Keane mengiringi hujan di akhir pekan ini. daripada jenuh tidak ada kerjaan  ada baiknya saya mencoba mencari maksud dari lagu yang dinyanyikan oleh keane ini....   Dilihat dari musiknya saya pikir lagu ini tergolong Slow rock dengan bunyi bass yang mendominasi. Lagunya pass untuk didengar disaat-daat santai apalagi di suasana hujan seperti ini... tetapi yang paling menggugah adalah liryknya. Suatu lagu dapat hidup ketika liryknya dapat menyentuh hati pendengarnya. Begitulah kira-kira liryk lagu yang berjudul everybody’s changing ini setikit mengusik pikiran saya.   Semua orang berubah. Alam pun berubah, dan kehidupan itu adalah menyangkut perubahaan, bahkan segala sesuatu di alam semesta akan senantiasa mengalami perubaan. Begitupun kehidupan manusia, perubahaan merupakan kodrat yang harus dilaliui. Liryk lagu everybodyl ’ s changing i ni kurang lebih menceritakan tentang seseorang yang menyadari bahwa te...

TEKS PADUAN SUARA KRISTUS RAJA PERKASA

 

TEKS KOOR KARENA AKU KAU CINTA