Hujan sepertinya tidak akan pernah peduli dengan suasana
pergantian tahun. Momen spesial inilah yang membuat orang-orang pada sibuk
mempersiapkan segala perayaan yang berhubungan dengan pergantian tahun. Namun suasana
ini tidak berlaku bagi hujan. Momen pergantian tahun bukan lagi menjadi hal
baru baginya. Ini hanyalah sebuah rutinitas tahunan yang diulang-ulang. Mungkin
itulah sebabnya mengapa hujan tetap turun seperti pada hari-hari biasa. Ah hujan,
mengapa kamu menjadi begitu statis?
terkadang aku ingin menjadi sepertimu yang menganggap segala hal itu
biasa-biasa saja. Aku ingin menjadi orang yang tetap biasa ketika sedang
dilanda duka ataupun suka. Tetap merasa biasa ketika takdir berpihak pada
kehidupan, ataupun ketika dengan ganas takdir itu mengancurkan tembok-tembok harapan.
Segelas kopi hitam yang tadinya penuh kini hanya tertinggal
ampasnya. Begitupun sama halnya dengan riwayat tahun 2017 yang setahun lalu disambut
dengan petasan dan gegap gempita perayaan, kini akan berlalu digantikan dengan tahun
yang baru, tahun 2018. Aku kembali mengenang kejadian tragis tepat setahun lalu
tentang korban-korban ternak yang berjatuhan di bawah ganasnya pisau dapur, dan
seakan tidak puas, daging-daging mereka diletakan pada bara-bara api yang panas
sampai pada akhirnya dimakan oleh para predator dengan berliter-liter alkohol
ditangan. Dan kemudian timbulah sebuah kekuatiran tentang kejadian yang sama
akan terulang sebentar lagi seperti deja-fu.
Ataupun tentang berliter-liter moke
yang akan mengganggu kerja otak dan hati, juga tentang kesendirian menghadapi
sebuah periode waktu yang baru dengan takdir yang siap menanti.
Momentum pergantian tahun, sebuah momen penuh
semarak yang tak sepenuhnya dapat ku nikmati. Kepada segelas kopi yang kini
tersisa ampasnya, telah aku sampaikan keluhanku untuk setiap catatan hitam yang
tertulis terang sepanjang tahun lalu. karena aku tahu, kopi selalu bisa membuat
keluhan-keluhan itu menjadi harapan
untuk kembali bangkit dan memperbaikinya pada lembaran-lembaran baru yang
ditawarkan oleh tahun depan. Bersama segelas kopi pula aku ikut menikmati
setiap rangkaian memori indah yang terlukis pada lembaran tahun lalu. Untuk setiap
kenangan manis dan langkah maju yang dapat membuat leherku berdiri tegak,. Mungkin
aku akan bersyukur karenanya”.
Bersyukur, sebuah kata yang tepat yang seharusnya selalu
ada saat malam ini. Sebuah kata yang lebih penting dari letusan kembang api dan
petasan. Sebuah kata yang lebih bermakna dari pada daging-daging ternak dan kue
kue yang lezat yang menggoda selera. Kata yang seharusnya selalu mengiringi
setiap tegukan alkohol penghangat tubuh-tubuh yang fana. Tetapi akankah rasa bersyukur
itu benar-benar ada? aku mulai meragukanya. Mungkin aku akan melupakanya ketika
sedang membunuh ternak-ternak itu dengan pisau dapur. Atau bahkan aku
mengabaikannya ketika puluhan liter moke meracuni organ dalamku dan
mengacaukan pikiran normal. Entalah, tak ada yang tahu apa yang bakalan terjadi
sebentar lagi. Aku terlalu kacau untuk membayangkanya dan berpikir mungkin terlalu
naïf untuk mengedapankan rasa syukur itu dari segala-galanya saat ini. Terlalu naïf
untuk bersyukur jika aku mengenang kembali segala ketidakadilan yang terjadi pada
tahun lalu. Terlalu naïf untuk bersyukur ketika aku membayangan bagaimana
rasanya sakit dikhianati. Terlalu naïf untuk bersyukur ketika dengan kejam
setiap harapan terpental jauh dari kenyataan. Terlalu naïf untuk bersyukur
ketika orang-orang tercinta bergulat bersama maut dan aku tak bisa berbuat
apa-apa untuk mencegahnya. Juga sebuah kebodohan ketika aku harus bersyukur kepada
cinta yang datang dan pergi sesukanya sampai merusak kehidupan statisku. Ketika
aku akan mengucap syukur, maka amarah akan timbul bersamanya.
Huuufth……
Aku akan memerlukan segelas kopi lagi…..
Mungkin untuk sekedar membuatku untuk tidak
menjadi naïf
Ataupun kembali membuatku untuk tetap bersyukur,
yah setidaknya itu membuat segala sesuatu menjadi nyaman.
Dan akhirnya..
Ketika bersyukur terlalu rumit untuk dihayati setidaknya
aku tetap dapat berterima kasih pada tahun 2017, yang sudah memberikan
lembaranya padaku dan seharusna dapat kutulis sesuka hati. Layaknya seorang
anak yang merasa gembira ketika diberikan permen dan mengucapkan kata terima
kasih. Begitupun tahun ini akan kututup. Dalam kesendirian yang meramaikan hati,
dengan sejuta refleksi baru untuk lebaran yang akan kuterima dari tahun depan..
Tanpa adanya rasa bersyukur berlebih, hanya ucapan terima kasih sederhana untuk
harapan-harapan yang akan bergulat bersama takdir.
Komentar
Posting Komentar