Senin, 01 Februari 2016.....
Setelah dua minggu mulai menekuni
profesi ini, akhirnya sayapun menyadari bahwa untuk menjadi seorang guru bukan
hanya sekedar mengajar di dalam kelas. Setelah mengamati dan mendengar segala
sesuatu yang terjadi dalam proses pembelajaran di sekolah, saya mempelajari
bahwa untuk menjadi seorang guru tidak hanya mempelajari materi yang akan
dibawakan ke dalam kelas, namun juga bagaimana berinteraksi sosial baik dengan
peserta didik, rekan-rekan guru juga masyarakat pada umumnya.
Guru selalu dituntut lebih dalam
segala aspek dan diharapkan mampu memberikan teladan dalam bidang apapun.
Membangun relasi sosial baik dalam ligkungan kerja maupun masyarakat merupakan
lingkungan yang harus dilalui seorang guru. Sebagai guru pemula yang belum
memiliki pengalaman, saya mencoba untuk mengamati dan menyikapi
kejadian-kejadian dengan cara pandang seorang guru yaitu mengambil setiam makna
positif dibaliknya.
Mampu menempatkan diri dengan baik
dalam setiap persoalan serta objektif dalam memandang sesuatu dengan
mengedepankan kebenaran dan hati nurani merupakan naluri yang seharusnya
dimiliki seorang guru. Untuk memiliki naluri tersebut tentunya diperlukan suatu
refleksi yang terus menerus demi melatih diri agar terbiasa menempatkan diri
secara benar dalam setiap peristiwa.
Saya menyadari, posisi seorang guru
mempunyai tempat yang sedikit “berbeda” dalam masyarakat. Terlebih pada
masyarakat pedesaan profesi guru sangatlah dihormati. Bukanya saya mau
menyombongkan diri karena memang tak ada yang bisa disombongkan, saya sendiri
merasakan bagaimana saya dihormati oleh beberapa masyarakat lewat sapaanya yang
sangat ramah. Dengan hati nurani saya benar-benar merasakan adanya rasa hormat
tersebut. Namun hal ini juga memberikan tanggung jawab yang sangat besar
terhadap diri sendiri untuk mampu menjaga kehormatan tersebut.
Guru juga adalah seorang manusia.
Banyak masalah manusia yang juga dialami oleh seorang gurun sehingga tak jarang
kita menemukan ada guru yang tamak, ada guru yang sombong, ada guru yang
berbicara kasar, ada guru yang korupsi dan sifat buruk lainya. Saya juga pada
awalnya tidak pernah membayangkan untuk menjadi Guru dengan alasan bahwa
seorang guru tidak mungkin menjadi kaya. Tetapi ketika saya terun kedalamnya
saya menyadari bahwa kekayaan memang bukan segala-galanya. Seorang guru yang
masih memikirkan untuk memperoleh kekayaan dari profesinya perlu merefleksikan
kembali tujuan hidupnya, karena guru bukanlah tempat untuk meraup kekayaan
melainkan guru merupakan tempatnya untuk meraih prestasi.
Sebagai seorang yang baru pemula dan
masih perlu banyak belajar, saya akan terus belajar untuk menjadi guru dari
setiap kejadian yang saya alami. Guru tidak ada yang sempurna, tetapi guru
selalu mencoba untuk mendekati kesempurnaan itu...
Selasa, 02 Februari 2016...
Hari ini saya kembali memasuki kelas
XI Ipa melajnutkan materi sebelumnya tentang hukum hooke. Sebelumnya memang
saya sudah mempersiapkan materi pembelajaran walaupun pada akhirnya memanng
saya sedikit kerepotan menjelaskan karena belum terbiasa untuk menjelaskan
dengan mencatat. Saya memilih menggunakan metode menjelaskan sambil mencatat
dengan tujuan untuk meninggalkan bekas yang bisa dibuka kembali oleh adik-adik
ini. palinng tidak mereka mempunyai sesuatu “alat bantu” untuk menggingat yaitu
catatan mereka itu sendiri.
Saya juga harus melatih bagaimana
cara menjelaskan yang baik karena seringkali saya melihat adik-adik ini sedikit
kebingungan dengan penjelasan saya yang sedikit rumit apalagi setiap kali
mengajar saya selalu memperhatikan setiap roman wajah para siswa yang
sepertinya sulit untuk mengerti. Namun ada beberapa dari adik-adik ini memang
paham. Seperti yang saya katakan pada catatan saya sebelumnya kalau kendala
terbesar dari peserta didik ini adalalh kebiasaan mereka untuk cenderung
menjadi pasif sangat tinggi. Tetapi saya tidak menyerah sampai disini, saya
akan mencoba untuk menyatukan antara peserta didik yang aktif dengan yang
cenderung pasif. Ketika saya keliru menjelaskan, tidak ada satu orang siswa pun
yang menyanggah, sampai akhirnya saya sendiri yang memperbaiki kekeliruan
tersebut.
Mungkin bagi sebagian pemerhati
pendidikan mengatakan bahwa metode mencatat adalah metode yang kuno dan tidak
dianjurkan untuk dipakai. Kurikulum 2013 salah satunya menekankan pada
keaktifan siswa dalam belajar sehingga guru tidak lagi menjadi pusat ilmu
pengetahuan. Banyak model dan metode pembelajaran yang ditawarkan yang
mengedepankan keaktifan siswa. Tetapi bagaimana saya bisa menerapkan metode
tersebut jikalau komunikasi antara guru dan murid saja masih tergolong satu
arah, dimana hanya guru yang dominan untuk berbicara. Bahkan pertanyaan yang
jawaban hanya untuk jawaban ya dan tidak saja, seringkali saya harus “memaksa”
mereka untuk mejawab.
Selain itu, adik-adik disini
terkendala sumber belajar. Walaupun sekarang internet sudah bisa masuk desa,
namun tetap saja itu menjadi barang mahal. Buku-buku yang tersedia di
sekolahpun jumlahnya sedikit hanya sebatas buku pelajaran yang hanya boleh
dipinjam ketika jam pelajaran. Bagaimana saya bisa mengrapkan mereka untuk
belajar di rumah kalau sumber belajarnya tidak ada, oleh karena itu saya
terpaksa harus memaksa mereka untuk memiliki catatan dengan asumsi bahwa
sesampainya di rumah mereka akan belajar dengan catatan mereka.
Namun dari segala keterbatasan yang
ada, suatu hal yang saya banggakan dari adik-adik ini adalah kehadiran mereka
ke sekolah. Walaupun cuaca akhir-ahkir ini terkendala oleh hujan tetapi untuk
sementara tingkat kehadiran mereka cukup tinggi. Saya juga menduga mungkin
penyebab adik-adik ini kurang aktif di kelas dikarenakan waktu sekolahnya yang
dimulai dari jam 12.45 sampai dengan 17.30 soreh yaitu waktu dimana biasanya
manusia beristirahat siang. Mudah-mudahan nanti kami bisa secepatnya
menggunakan gedung baru sehingga bisa melaksanakan sekolah diwaktu pagi hari.
Dan juga sebagai guru, saya juga harus terus melatih dan mencari cara untuk
bagaimana memberikan elayanan terbaik bagi adik-adik ini.
Komentar
Posting Komentar